TAFSIR BARU PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan tidak
mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi
atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan
yang berlaku di kalangan masyarakatnya.
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di
dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman, keberbedaan itu tidak hannya antara
satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang
lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi
perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan
karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
Keadaan dan kondisi di suatu daerah misalkan akan turut mempengaruhi
pengaturan hukum (perkawinan) di daerah tersebut. Misalnya di negara Indonesia,
bangsa yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan
multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui
sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.
Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar
bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3
%), Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Keragaman pemeluk agama di Indonesia
ternyata telah ikut membentuk pola hubungan antar agama di Indonesia dalam berbagai
aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut
tercermin dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan
sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan
disahkannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Demikianlah ternyata keadaan
di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di negara
tersebut.
Salah satu fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern
dan kontemporer ini adalah persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara
muslim, di Indonesia misalkan terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau
tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di
Indonesia. Dalam tulisan ini penulis mencoba mencermati salah satu bentuk kontroversi
dalam menafsirkan sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang
perundang-undangan di Indonesia.
2
B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Perundang-Undangan Perkawinan
Di Indonesia
Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai
perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia.
Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam
Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad
1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Untuk mengetahui secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda
agama di Indonesia, dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang
terkait dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia.
Dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken,
Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), beberapa ketentuan tentang perkawinan beda
agama adalah sebagai berikut:
Pasal 1 :
Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk
pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
Pasal 6 ayat (1) :
Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas
suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.
3
Pasal 7 ayat (2) :
Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan
halangan pelangsungan perkawinan.
Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama
bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah terjadinya perkawinan.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai
landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57.
Pasal 2 ayat (1) berbunyi :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
4
Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang
mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di
Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.
Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur
tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan
wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum
Islam menyatakan sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu;
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki
(muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi
pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang
dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44
menyatakan sebagai berikut:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.
5
Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan
pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori
Ahl al-Kitab.
Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri
yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.
Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap
calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam
maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan
beda agama.
C. Beberapa Pandangan Atas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada penelaahan terhadap
pandangan-pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia dikaitkan dengan
peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan yang mengatur
tentang perkawinan di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan
mencoba menelusuri pandangan-pandangan tersebut dan mengkaitkannya dengan
peraturan perkawinan beda agama yaitu dalam Peraturan Perkawinan
6
Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR),
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia.
Para pakar hukum berbeda pendapat tentang perkawinan beda agama dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hal ini disebabkan karena undangundang
tersebut tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis)
mengenai perkawinan beda agama. Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang
perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :
a. Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f)
yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan beda agama
adalah tidak sah dan batal demi hukum.
b. Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat
dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran.
Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak
pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh
karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang
memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antara
dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda
7
agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan
Campuran.
c. Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda
agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-undang Perkawinan maka
peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya
dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus
berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.
Sehubungan dengan pandangan kelompok ketiga ini menarik untuk dicatat bahwa
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam suratnya No. KMA/72/IV/1981
tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri secara tegas menyatakan:
1). Merupakan suatu kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang
serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, adalah
pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang berbeda satu dengan lainnya.
2). Adalah suatu kenyataan pula bahwa antar mereka itu, ada yang menjalin suatu
hubungan dalam memebnetuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui
proses perkawinan, di mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran.
3). Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-undang Perkawinan
memungkinkan S.1898 No. 158 diberlakukan untuk mereka sepanjang
Undang-undang Perkawinan belum mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan perkawinan campuran dimaksud.
Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan bahwa Undangundang
Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang
8
perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan Undang-undang tersebut
disebabkan karena beberapa hal yaitu, pertama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tidak mengatur perkawinan beda agama, kedua, masyarakat Indonesia adalah
masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan,
ketiga, persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan keempat,
kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab
akan dapat mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu kumpul
kebo/samen leven.
Mayoritas kelompok muslim di Indonesia berpandangan bahwa Undang-undang
perkawinan tidak perlu disempurnakan dengan mencantumkan hukum perkawinan beda
agama dalam Undang-undang tersebut sebab mereka berpendapat bahwa Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur hukum perkawinan beda agama dengan
tegas dan jelas.
Mencermati pendapat-pendapat di atas penulis memiliki pendapat yang
berbeda yaitu bahwa Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut
penyusun -sejalan dengan pendapat M. Idris Ramulyo dan Watik Pratiknya-memang
tidak secara eksplisit mengatur perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim
ataupun antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, namun Undangundang
tersebut secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan kepada agama
dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
9
Kesimpulan ini didasarkan pada pengamatan terhadap bunyi pasal 2 ayat (1) dan pasal
8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) berbunyi:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
g. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Dari bunyi pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai sah atau
tidaknya sebuah perkawinan diserahkan kepada aturan yang terdapat dalam agama atau
kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
Sedangkan salah satu sebab dilarangnya perkawinan adalah adanya hubungan antara
dua orang yang menurut agama dilarang kawin. Dengan demikian maka undang-undang
ini tidak mengatur tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim
dan secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan tersebut kepada
aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut.
Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur
tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan
wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum
Islam menyatakan sebagai berikut:
10
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu;
d. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain;
e. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
f. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki
(muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi
pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang
dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44
menyatakan sebagai berikut:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.
Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan
pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori
Ahl al-Kitab.
Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
(3) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
(4) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri
yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.
11
Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap
calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam
maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan
beda agama.
Pengesahan Kompilasi Hukum Islam dengan menggunakan Instruksi Presiden
Instruksi No.1 Tahun 1991 dan tidak mengggunakan undang-undang memunculkan dua
pandangan yang berbeda mengenai kekuatan hukum Kompilasi Hukum Islam, di
kalangan Ahli Hukum ada yang mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam
berkekuatan mengikat (imperatif) dan ada yang mengatakan tidak mengikat (fakultatif).
Argumen yang diajukan kelompok pertama yang menyatakan bahwa
Kompilasi Hukum Islam berkekuatan mengikat (imperatif) adalah bahwa meskipun
Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973 namun
Instruksi Presiden mempunyai kedudukan yang sama dengan Keputusan Presiden, dan
keduanya mempunyai posisi yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karena itu
Kompilasi Hukum Islam mempunyai kekuatan mengikat secara imperatif.
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran Instruksi Presiden
No.1 Tahun 1991 dinyatakan sebagai berikut:
a. Bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di
Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988 telah
menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam,
12
yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum
Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
b. bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh
Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya
dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang tersebut.
c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam
huruf a perlu disebarluaskan.
kata sebagaim pedoman dalam konsideran di atas menurut Abdurrahman
-sebagaimana dikutip oleh A. Rafiq- harus dipahami sebagai tuntutan atau petunjuk
yang harus dipakai baik oleh Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam
menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan, kewarisan dan
perwakafan.
Adapun argumen yang diajukan oleh kelompok kedua yang menyatakan bahwa
Kompilasi Hukum Islam tidak mengikat (fakultatif) adalah bahwa Inpres tidak termasuk
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS
No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973, dengan demikian maka
Kompilasi Hukum Islam tergolong hukum yang tidak tertulis sebab Inpres tidak
termasuk dalam rangkaian tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara positif
di Indonesia.
Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran point b Instruksi
Presiden No.1 Tahun 1991 dinyatakan:
13
bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi
Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan
sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
kata-kata dapat dipergunakan sebagai pedoman menunjukkan bahwa kompilasi
Hukum Islam tidak mengikat secara imperatif. Oleh karena itu para pihak dapat
menjalankannnya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dan
keperluannya. Dengan demikian maka pedoman di sini memiliki pengertian
bersifat fakultatif. Oleh karenanya dalam praktek, orang yang mengeyampingkan
Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dipersalahkan telah melanggar hukum.
D. Perkawinan Antara Muslim Dengan Non Muslim Dalam Wacana Agama
Dalam konsep konvensional maupun kontemporer (modernis) perkawinan wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim telah disepakati keharamannya. Adapun pernikahan
antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah masih terdapat perbedaan di kalangan
Ulama. Sebagian ketentuan tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non
muslim diuraikan sebagai berikut:
1. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli Kitab
Mazhab Syafi’i –sebagaimana ditulis oleh Dr. Wahbah az-Zuhailiberpendapat
bahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir selain ahli
kitab seperti watsani, majusi, penyembah matahari atau bulan, murtad adalah tidak sah
(batal) berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 221. As-Syirazi dalam al-
14
Muhazzab menegaskan bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan orang
perempuan yang bukan ahli kitab yaitu orang-orang kafir seperti penyembah berhala
dan orang murtad berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221.
Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa syarat wanita yang dapat dinikah adalah
wanita muslimah atau kitabiyyah Khalishah.
Al-Jazairi menyebutkan bahwa berdasarkan surat al-Baqarah ayat 221 maka
laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik apapun bentuk
kemusyrikannya kecuali kalau ia masuk Islam. Ketentuan ayat di atas ditakhsis oleh
surat al-Maidah ayat 5 yang menunjukkan bahwa wanita ahl al-Kitab boleh dinikahi,
walaupun mereka mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan. Wahbah az-Zuhaili
menyebutkan bahwa tidak halal bagi laki-laki muslim menikahi wanita musyrikah atau
wtsaniyyah yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Ulama
Hanafiyyah dan Syafi’iyyah dan selain mereka menyamakan orang murtad dengan
musyrik. Kesimpulannya adalah telah terjadi kesepakatan tentang tidak halalnya
menikahi wanita yang tidak memiliki kitab seperti watsaniyyah dan Majusiyyah.
Ibnu Rusyd -dalam fasal tentang penghalang menikah sebab kafirmenyatakan
bahwa para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikahi
wanita watsaniyyah. Sejalan dengan Ibn Rusyd, Hasbi ash-Shiddieqi menyebutkan
bahwa hukum tentang tidak bolehnya menikahi wanita watsaniyah (penyembah
berhala) telah disepakati oleh Imam Mazhab.
15
2. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab
Bolehnya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab telah
disepakati oleh semua Imam Mazhab. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para Ulama telah
sepakat tentang bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyyah yang merdeka.
As-Syirazi dalam al-Muhazzab menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi
wanita merdeka ahl Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang yang masuk agama
mereka sebelum adanya tabdil/penggantian. Sedangkan al-Malibari menyebutkan
bahwa kemusliman dan keahlikitaban adalah syarat bagi wanita yang dapat dinikahi
oleh laki-laki muslim. Al-Jazairi menyebutkan bahwa wanita ahli kitab yang boleh
dinikahi tidak disyaratkan kedua orang tuanya harus ahli kitab, berbeda menurut as-
Syafi’iyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan kedua orangtuanya harus ahli kitab.
Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa Ulama telah sepakat terhadap
bolehnya menikahi wanita kitabiyyah yaitu wanita yang meyakini agama samawi
seperti Yahudi dan Nasrani. Sedang yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahlu at-
Taurah dan Injil. Mengenai halalnya menikahi wanita kitabiyyah tidak ada syarat
apapun menurut Jumhur sedangkan menurut Ulama Syafi’iyyah halalnya menikahi
Israiliyyah dengan syarat awal moyangnya masuk agama Yahudi sebelum dinasah dan
adanya perubahan, apabila terjadi keraguan tentang hal tersebut, menikahi israiliyyah
juga tidak halal. Sedangkan halalnya menikahi wanita nashraniyyah dengan syarat awal
moyangnya masuk agama tersebut sebelum dinasah dan sebelum terjadinya
16
tahrif/pengrubahan. Menurut Wahbah pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan
apapun bagi kebolehan menikahi wanita kitabiyyah adalah lebih rajih dibanding
pendapat As-Syafi’iyyah.
Dalam pandangan muslim modernis yang dalam tulisan ini merujuk kepada
pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Mengenai perkawinan lakilaki
muslim dengan wanita musyrikah menurut Muhammad Abduh sebagaimana
dinukilkan oleh Rasyid Ridha adalah diperbolehkan selain wanita musyrikah Arab, hal ini
dilatar belakangi oleh penafsirannya terhadap kata Musyrikah dalam surat al-Baqarah ayat
221, ia secara tegas menyatakan bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki
Muslim dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan-perempuan Musyrikah Arab.
Jadi menurut pendapat ini seorang Muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari
bangsa non-Arab seperti Cina, India dan Jepang (sebab masuk dalam kategori ahli kitab).
Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah adalah
diperbolehkan, hal ini didasarkan pada ayat 5 surat al-Maidah:
اليوم أ حل ل كم الطيبات وطمام ال ذين أوتوا الكتاب حل ل كم و طعام كم حل ل هم و
المحصنات من المؤمنات و المحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم.
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, Makanan (sembelihan) orangorang
yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”
17
Menurut Abduh ahl al-Kitab mencakup penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Shabiun.
Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa ahl al-Kitab mencakup Yahudi, Nasrani,
Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Kong Fu Tse (Kong Hucu) dan Shinto. Dalam
menetapkan keahlikitaban satu ummat, Ridha menggunakan kriteria memiliki kitab suci
dan atau mengikuti nabi yang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muslim modernis memandang bahwa
diperbolehkan terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim
yang masuk dalam cakupan makna ahl al-Kitab dan wanita itu tidak termasuk musyrikah
Arab. Dengan demikian menurut pandangan ini maka laki-laki muslim Indonesia boleh
menikah dengan wanita non muslim yang beragama Yahudi, Nasrani/Kristen, Hindu,
Budha, Kong Hucu, Shinto, Majusi dan Shabi’un.
E. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bagi kelompok yang yang
meyakini bahwa Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c yang secara eksplisit melarang
terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non muslim (baik Ahl al-
Kitab maupun non Ahl al-Kitab) adalah bersifat imperatif maka pernikahan beda agama di
Indonesia tidah sah menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan batal demi
hukum. Sedangkan bagi kelompok yang meyakini bahwa Kompilasi Hukum Islam pasal 40
huruf c yang secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim)
18
dengan wanita non muslimah (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab)adalah bersifat
fakultatif maka sah atau tidaknya perkawinan beda agama menurut peraturan perundangundangan
di Indonesia diserahkan sepenuhnya pada peraturan yang ada pada agama (Islam)
tinggal apakah memakai pandangan muslim konvensional ataukah pandangan muslim
modernis.
19
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon dikasih kritik, saran dan komentar sebuah konsumen pembaca akan membuat lebih berguna. Terima kasih.